Senin, 17 Desember 2007

UHKUWAH BUKAN MUSIMAN.

(Sejenak merenungi diri...............)

Hingga kumandang adzan Magrib tiba, kusegerakan diri untuk berwudhu. Ada rindu takbir, sujud dan salam yang harus segera diobati, terlebih lagi rindu muhasabah diri. Maha besar Allah, setidaknya magrib ini aku sudah punya bahan untuk bermuhasabah.

Aku memang baru berusia 20 tahun. Tapi hal itu bukan membuatku bangga. Terutama dalam topik muhasabah kali ini, hatiku seakan tersayat...

Dua puluh tahun memang bukan waktu yang sedikit untuk Allah tetap mengizinkan jantungku berdetak dan nafasku berhembus. Bukan pula waktu yang sesaat untuk mata dan telingaku bisa memandang kebesaran ciptaanNya dan mendengar lantunan ayat-ayat-Nya. Bukan pula perjalanan hidup yang pendek untuk ayah dan bunda meluapkan kasih sayangnya dalam membimbingku memaknai kehidupan.

Namun yang ada dalam pikirku kali ini, 20 tahun adalah waktu yang singkat. Mungkin karena aku belum mengerahkan seluruh daya dan upaya agar diriku banyak bermanfaat untuk orang-orang di sekitarku, hingga aku merasa 20 tahun ini berlalu begitu saja.

Duh, Rabb…

Betapa banyak orang yang berkontribusi kebaikan pada hidupku, terlebih lagi berkontribusi ilmu untukku gapai masa depan. Guru TK 2 kelas. Guru SD 6 kelas, guru SMP dan SMA sebanyak mata pelajaran yang kudapat. Belum lagi guru ekstrakulikuler, pramuka, paduan suara, jurnalistik, KIR dan guru perlombaan. Duh, apa pernah ya aku menyebut mereka dalam lantunan doa-doaku?

Ya, tepat! Betapa banyak pula teman yang ikut berkontribusi mewarnai hari-hariku dengan canda tawa dan duka bersama. Setidaknya jika aku memnghitung teman seangkatan, mulai Tk ada 40 teman. SD ada 5 kelas, berarti 45x5=225 teman, SMP ada 11 kelas, berarti kurang lebih 40x11=440 teman, SMA ada 9 kelas IPA, 1 kelas aksel dan 1 kelas IPS, berarti kurang lebih 414 teman. Kalau ditotal sekitar 1119 teman. Angka itu belum dikurangi sekitar 5% teman yang meneruskan pendidikan yang sama denganku. Dan belum ditambah dengan sejumlah teman beda angkatan, teman rumah, teman organisasi luar dll.. Dan lagi-lagi, adakah saat aku sebut mereka dalam lantunan doa-doaku?

Kalkulator yang menunjukkan angka 1119 itu sempat merasakan tetesan air yang jatuh dari mataku. Duhai Rabb, betapa banyak kenikmatanMu. Merekalah wujud cintaMu padaku. Kini, terlintas dalam pikirku.. Ukhuwah (persaudaraan) yang bagaimana yang selama ini kubangun bersama mereka?

Duhai Rabb, izinkan muhasabah ini sebagi jalan untuk aku luruskan niatku kembali. Sekalipun aku tak banyak tahu keadaan mereka, teman, guru, sahabat, dan saudara-saudaraku.. Namun, cukup Kaulah Rabb yang mengetahui apa-apa yang ada di depan dan di belakang kami. Dan cukuplah Kau Rabb yang menjadi sebaik-baik penjaga dan penolong..

Rabb, entah di manapun mereka.. izinkan kami tetap menjadi penumpang dalam kereta SyurgaMu. Ya, kereta yang melaju kencang tanpa pernah berhenti. Tanpa pernah berhenti dan peduli sekalipun terdapat penumpang yang tumbang dan tertinggal karena belum sanggup bertahan melawan angin nafsu selama kereta ini melaju.

Duhai, Rabb... Di dunia ini tak ada yang abadi. Jikalau dalam pandanganMu ukhuwah kami didunia ini adalah musiman, yang terdapat pertemanan dan persaudaraan hanya karena ada lokasi, waktu dan keperluan.. Maka, izinkanlah dengan hati kami yang bersatu karenaMu ini, kelak Kau panjangkan usia ukhwah kami hingga Kau pertemukan kami kembali dalam rahmat SyurgaMu...

Logika serupa baja Hati serupa sutra Tak ada yang kekal di dunia

Tuk sekadar berucap pada kawan Kala paradigma menguasai hati dan dada

Tenanglah..
Kepedulianku seperti kau kenal dulu..
Dan waktuku masih tersedia untuk suka dukamu


Bukankah Ia yang kekal,
yang menjadi alasan kita..

Cukup,
Sekali untuk diucap:
Ukhuwah kita bukan musiman..

Senin, 10 Desember 2007

Arsitektur Rumah Gadang

Rumah Gadang merupakan ciri khas Rumah Adat Minangkabau (Sumatra Barat), yang berfungsi sebagai tempat tinggal keluarga besar dan pusat kegiatan orang yang sedarah dan seketurunan dari kerabat matrilinial baik kegiatan ekonomi dan sosial maupun kegiatan budaya, dikepalai oleh seorang Tungganai (Mamak) dan sebagai syarat berdirinya suatu nagari di Minangkabau, dengan arsitektur bentuk atap bergonjong (berbentuk tanduk kerbau).

Rumah Gadang dibangun dengan bergonjong dimana semakin keatas semakin runcing, agar air mudah meluncur dan atap tahan lama walaupun terbuat dari injuk. Gonjong atap Rumah Gadang terdiri dua pola, yaitu gonjong Rumah Gadang Pola Koto Pialang (Aristokrat) terdiri dari 3 gonjong, 3 gonjong kanan , 1 gonjong depan dan 1 gonjong belakang , banyak terdapat di Luhak Tanah Datar. Sedangkan gonjong Rumah Gadang Pola Budi Caniago (Demokrat) terdiri 2 gonjong kanan, 2 gonjong kiri,1 gonjong depan dan 1 gonjong belakang, banyak terdapat di Luhak Agam Dan Luhak 50 Kota.

Rumah Gadang, sesuai dengan arsitektur ruangan dalam atau depan dengan lanjar (ruangan yang membujur dari depan ke belakang diantara tiang-tiang yang berderet), terbagi atas 3 tipe,yaitu :

* Lipat Pandan : Berlanjar dua, disebut dengan Rumah Gadang Rajo Babandiang.

* Belah Rebung : Berlanjar tiga ,disebut dengan Rumah Gadang Bapaserek/Surambi Papek

* Gajah Maharam : berlanjar empat, disebut dengan Rumah Gadang Gajah Maharam.

Menurut letaknya, ruangan Rumah Gadang terdiri atas:

* Ruang depan : Merupakan ruang besar, dipakai sebagai ruang keluarga, rapat, menerima tamu dan sebagainya.

* Ruang tengah : Terdiri dari kamar-kamar, dipakai untuk kamar tidur penghuni wanita bersama suaminya.

* Ruang Anjungan : Bangunannya lebih tinggi dari ruang depan, sebelah kiri dan sebelah kanan dipakai untuk tempat wanita yang baru menikah.

* Ruang Belakang : Merupakan dapur tanpa kamar mandi dipancuran diluar Rumah Gadang.

Bentuk Rumah Gadang segi 4 , tidak sistematis, mengembang keatas , untuk menangkis terpaan angin kencang. Tinggi lantai 2 meter dari atas tanah, dulunya untuk menghindari binatang buas dan juga memelihara ternak dibawahnya dan loteng digunakan untuk menyimpan barang-barang (gudang).

Permukaan dinding depan Rumah Gadang penuh dengan tatanan ukiran-ukiran yang menarik dan setiap ukiran itu mempunyai arti sendiri dan mengandung filsafah Minangkabau "ALAM TAKAMBANG JADI GURU".

Jenis ukiran Rumah Gadang tersebut terdiri atas :

* Keluk Paku : Ditafsirkan anak dipangku kemenakan dibimbing.

* Pucuk Tebung : Ditafsirkan kecil berguna , besar terpakai.

* Seluk Laka : Ditafsirkan kekerabatan saling berkaitan.

* Jala : Ditafsirkan pemerintahan Bodi Caniago.

* Jerat : Ditafsirkan pemerintahan Koto Pialang.

* Itik pulang petang : Ditafsirkan ketertiban anak kemenakan.

* Sayat Gelamai : Ditafsirkan ketelitian.

* Sikambang manis : Ditafsirkan keramah tamahan.

Dinding belakang disebut Dinding Sasak, karena pada masa lalu terbuat dari bambu yang dianyam, dinding depan dan samping terbuat dari kayu serta diukir. Berdirinya Rumah Gadang harus dilengkapi dengan Rangkiang atau Lumbung Padi, terletak dihalaman depan dan samping, yang berfungsi sosial dan ekonomi.

Bentuk dan jenis rangkiang / lumbung padi tersebut antara lain:

* Sitinjau Lauik : Digunakan sebagai tempat menyimpan padi untuk dijual bagi keperluan bersama atau pos pengeluaran adat. Bentuknya langsing, bergonjong dan berukir dengan empat tiang, letaknya ditengah.

* Sibayau-bayau : Digunakan untuk menyimpan padi makanan sehari-hari. Bentuknya gemuk, bergonjong dan berukir dengan 6 tiang letaknya dikanan.

* Sitangguang Lapa / Sitangka lapa : digunakan untuk menyimpan padi untuk musim kemarau dan membantu masyarakat miskin. Bentuknya bersegi, bergonjong dan berukir dengan 4 tiang , letaknya sebelah kiri.

* Kaciak/kecil : Digunakan untuk menyimpan padi bibit dan untuk biaya mengolah sawah. Bentuknya bundar, berukir dan tidak bergonjong, letaknya diantara ketiga rangkaian tersebut.

Kelengkapan bangunan Rumah Gadang lainnya adalah Tabuh Larangan, Lesung, Kincir, Pancuran dan Pedati. Halaman Rumah Gadang dilengkapi dengan puding berwarna kuning, puding warna perak, puding warna hitam dan batang kemuning sebagai pagar hidup.
Arsitek yang membangun Rumah Gadang yang pertama adalah seorang Cerdik Pandai Minangkabau yang bernama : Datuk Tan Tejo Gerhano, yang dimakamkan di Pariangan Kabupaten Tanah Datar dan makam tersebut dikenal dengan kuburan panjang yang punya keunikan tersendiri bahwa setiap kali diukur akan berbeda panjangnya.

Sumber : www.minangnet.com


"Rumah Gadang"
Mengenal Allah Lewat Zikir dan Pikir

Kalau kita ingin mengenal kehebatan seorang arsitek, cara terbaik adalah dengan melihat bangunan yang dirancangnya. Kalau kita ingin mengenal kehebatan seorang pelukis, maka kita bisa melihat seberapa bagus kualitas lukisannya.

Begitu pula bila ingin mengenal kebesaran Allah, maka kita bisa melihat kualitas ciptaannya. Apa ciptaan Allah tersebut? Itulah alam semesta yang tercipta dan Alquran yang tertulis. Ada dua cara untuk mengenal kebesaran Allah, yaitu melalui pikir dan zikir. Pikir lebih berkaitan dengan aspek nalar. Semakin seseorang memahami ciptaan Allah, maka akan semakin sadar pula akan kebesaran Allah.

Karenanya, Alquran berulangkali merangsang manusia untuk terus memikirkan semua itu. Beberapa ungkapan Alquran yang menujukkan hal tersebut, laa allakum tattaqun, la allakum tadzkurun. Maksudnya Allah menyuruh manusia untuk melihat, merenungkan, dan mengkaji semua ciptaan-Nya. Bahkan Prof Ahmad Salaby menyebutkan bahwa seperlima kandungan Alquran berisi petunjuk agar manusia bisa mengkaji alam ini.

Kedua, manusia tidak cukup hanya mengembangkan pikir. Manusia pun perlu zikir. Tanpa zikir manusia bisa memiliki, tapi ia tidak akan menikmati. Manusia bisa sukses, tapi ia tak akan bahagia. Maka, Alquran pun mendorong kita untuk mengembangkan kemampun zikir. Zikir bisa dilakukan dengan jalan merenungkan dan menyebut kebesaran Allah.

Bila kita mampu mengembangkan dan menyeimbangkan dua hal ini dengan baik, maka kita layak disebut ulil albab. Dalam QS. Ali Imran: 190-191 disebutkan karakteristik dari ulil albab.

Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi ulil albab, yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka periharalah kami dari siksa neraka".